
Indonesia beberapa hari ini digemparkan setelah Trans 7 menayangkan sisi lain kehidupan di balik tembok pesantren, tempat yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan agama, namun ternyata menyimpan kisah kelam yang memicu pro dan kontra di tengah masyarakat.
Tak cuma dari kalangan santri, segmen yang ditayangkan pada 13 Oktober 2025 itu juga menuai reaksi keras dari masyarakat luas, terutama dari komunitas pesantren yang merasa tersinggung dengan cara media menggambarkan kehidupan di lingkungan mereka. Mereka menilai tayangan tersebut terlalu menyoroti sisi negatif tanpa memberikan konteks menyeluruh tentang ribuan pesantren lain yang berjalan baik.
Aksi protes pun bermunculan di berbagai daerah. Sejumlah organisasi santri menggelar demonstrasi di depan kantor Trans 7, menuntut permintaan maaf resmi dan klarifikasi atas isi tayangan yang dinilai “menyesatkan publik”. Di media sosial, tagar #BoikotTRANS7 menduduki posisi teratas trending topic selama dua hari berturut-turut, diiringi perdebatan sengit antara pihak yang membela pesantren dan mereka yang menilai bahwa fakta kelam tersebut memang harus diungkap.
Di tengah panasnya perdebatan, Menteri Agama akhirnya angkat bicara. Ia menyebut bahwa beberapa pemberitaan mengenai kekerasan dan kejahatan seksual di pesantren telah “dibesar-besarkan” dan tidak menggambarkan kondisi pesantren secara keseluruhan. “Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada kasus, tetapi jangan sampai satu dua oknum mencoreng seluruh lembaga pesantren di Indonesia,” ujarnya.
Namun pernyataan tersebut justru menimbulkan gelombang kritik baru. Banyak pihak menilai komentar sang Menteri terlalu meremehkan penderitaan korban.
“Masalahnya bukan hanya jumlah kasus, tapi sistem yang membuat korban takut bicara,” ungkap salah satu aktivis pendamping korban. Ia menambahkan bahwa banyak santri yang memilih diam karena takut dikucilkan atau dianggap mencoreng nama baik pesantren.
Gedung Ponpes Al-Khoziny Ambruk
Peristiwa tragis ini terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur, pada akhir September 2025. Bangunan asrama putra Pondok Pesantren Al-Khoziny, yang berisi ratusan santri, mendadak ambruk saat para santri yang tengah shalat ashar berjamaah di lantai 2 bangunan tersebut.
“Tragedi musibah bencana alam tidak pernah sebesar ini jumlahnya, dengan jumlah korban yang begitu besar, 67 siswa santri meninggal dunia, lebih dari 5 orang mengalami cacat fisik seumur hidup,” ujar Cak Imin di kantornya, Selasa (14/10/2025). Ia menyebut peristiwa itu sebagai musibah terbesar dalam sejarah pesantren Indonesia.
Investigasi awal menunjukkan bahwa struktur bangunan tidak memenuhi standar keselamatan. Material yang digunakan diduga berkualitas rendah, sementara pembangunan dilakukan tanpa pengawasan teknis memadai. Sejumlah saksi mengaku sempat melihat retakan pada dinding dan langit-langit beberapa hari sebelum kejadian, namun laporan itu diabaikan.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny, KH Abdus Salam, akhirnya angkat bicara menanggapi tragedi memilukan yang menimpa pesantrennya. Dalam pernyataannya di Sidoarjo, Senin, 29 September 2025, ia meminta seluruh pihak untuk bersabar dan menerima peristiwa tersebut sebagai ujian dari Allah.
“Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar, mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik serta dibalas dengan pahala,” KH Abdus Salam, Pengasuh Ponpes Al-Khoziny.
Pernyataan tersebut menuai beragam reaksi. Sebagian masyarakat dan kalangan santri menganggap ucapan sang kiai sebagai bentuk keteguhan iman dan ketenangan hati di tengah musibah besar. Namun, tak sedikit juga yang menilai pernyataan itu menunjukkan lemahnya akuntabilitas dan kecenderungan untuk menyembunyikan kelalaian manusia di balik istilah “takdir”.
Dalam budaya pesantren tradisional, suara pengasuh atau kiai kerap dianggap mutlak dan hampir tidak terbantahkan. Apa pun yang keluar dari lisan kiai biasanya diterima sebagai kebenaran, bukan sekadar pendapat. Hal inilah yang membuat sebagian keluarga korban enggan menuntut tanggung jawab atau menggugat pihak pesantren secara hukum.
Salah satu keluarga korban bahkan menolak menerima santunan dari pihak Ponpes Al-Khoziny, dengan alasan tidak ingin menodai keikhlasan dan berharap tetap mendapatkan berkah serta rida sang kiai.
Fenomena ini mencerminkan dilema sosial dan spiritual yang sering kali muncul di lingkungan pesantren tradisional, di satu sisi, ada keyakinan religius yang kuat tentang takdir dan keikhlasan; di sisi lain, ada minimnya kesadaran tentang hak dan keadilan bagi korban.
Kasus Al-Khoziny pun kini menjadi sorotan tidak hanya dari sisi teknis pembangunan dan keselamatan, tetapi juga dari aspek budaya dan struktur kekuasaan di lingkungan pesantren, di mana dominasi kiai dan kepatuhan santri sering kali membuat kritik menjadi tabu bahkan ketika nyawa sudah melayang.